SAMARKAND – Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akhirnya –setelah melewati perjalanan yang melelahkan (Jakarta-Seoul-Tashkent)– menjelang tengah malam saya beserta delegasi sidang Badan Pariwisata Dunia PBB tiba di Tashkent, Uzbekistan (30/9/2014). Selepas istirahat satu malam di sebuah hotel milik seorang pengusaha asal Indonesia di tengah kota Tashkent, seluruh delegasi dari berbagai negara termasuk delegasi Indonesia berangkat menuju kota Samarkand, tempat sidang dilaksanakan, menggunakan kereta api khusus.

Samarkand, sebuah kota yang sangat penting dalam sejarah Uzbekistan. Kota ini bersama dengan kota-kota lain seperti Tashkent, Bukhara dan Khiva merupakan jalur-jalur perdagangan yang sibuk di abad pertengahan. Kota-kota ini merupakan bagian dari jalur sutra (silk road) yang menghubungkan Asia dan Eropa. Melalui jalur ini berbagai komoditas termasuk rempah-rempah dari Nusantara dibawa dengan karavan menuju daratan Eropa.

Sebagai kota yang pernah menjadi ibukota kekaisaran dinasti Timurid, sisa-sisa kejayaan kota ini masih terjadi dan dirawat dengan sangat baik. Registan Square misalnya, dulu sebuah komplek pendidikan atau perguruan tinggi dari abad pertengahan yang terdiri dari tiga gedung madrasah besar dan satu buah masjid.

Interior dalam masjid berornamen keemasan dan luar biasa indah. Gedung madrasah bertingkat dua dilengkapi dengan kamar-kamar para santri/siswa dan guru tertata dengan rapi. Ketiga gedung tersebut memiliki kubah berwarna biru yang dengan bahan keramik dan marmer bertuliskan kaligrafi khas Asia Tengah. Megahnya bangunan-bangunan tersebut sekaligus mencerminkan bahwa pada masa itu Uzbekistan adalah negeri yang makmur dan kaya raya.

Komplek Registan Square ini merupakan tujuan wisata utama di Samarkand yang tidak pernah sepi dari wisatawan baik asing maupun lokal. Saat ini kamar-kamar tersebut dipergunakan para pedagang  untuk menjajakan berbagai hasil kerajinan tangan dan produk khas daerah setempat.

Terbayang di mata betapa dahulu, komplek madrasah ini penuh dengan hilir mudik ribuan pelajar dan ulama yang datang dari seluruh belahan dunia. Mereka belajar berbagai macam disiplin ilmu mulai dari ilmu nahwu (tata bahasa arab), hadits dan tafsir. Terbayang pula, betapa mereka dengan tekun  belajar berbagai kitab-kitab astronomi (ilmu falak dan hisab) karangan Ulugh Beg, cucu Amir Timur (pendiri dinasti Timurid), sembari mengintip letak bintang-bintang di langit melalui observatorium teropong bintangnya Ulugh Beg. Sebuah teropong bintang pertama di dunia.

Bagi santri di pesantren tradisional di Indonesia, nama Ulugh Beg bukanlah nama yang asing. Karya-karya Beliau masih terus dipergunakan sebagai buku acuan untuk menyusun kalender hijriah dan jadwal shalat lima waktu.

Di salah satu ruangan yang dipergunakan sebagai musium, dipamerkan berbagai alat-alat ilmu astronomi dari abad pertengahan. Yang mengejutkan, sebuah Rubu’ Mujayyab atau kuadran dipasang menempel di salah satu dinding ruangan. Alat berbentuk seperempat lingkaran ( 900 ) ini sampai saat ini masih digunakan di pesantren-pesantren tradisional sebagai alat untuk menghitung ketinggian dan memproyeksikan peredaran benda-benda langit. Alat ini digunakan untuk mengetahui awal bulan hijriah dan waktu shalat.

Melihat alat  Rubu’ ini, terlintas  di benak penulis, saat-saat belajar alat tersebut dengan sambil melihat tabel angka karya Ulugh Beg untuk belajar ilmu falak. Sebuah bidang ilmu yang bagi penulis sangat sulit dan rumit.  Terbayang pula kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa dari Allah Yarham Kiai Asmuni Al-Falaki — guru dan pakar ilmu falak dan hisab PP Al Falah, Ploso, Kediri– ketika mengajar di kelas.

Tidak jauh dari pusat kota Samarkand, kurang lebih 30 menit dengan naik mobil, terdapat komplek makam Imam Bukhari. Komplek makam sang perawi hadits yang dikenal dengan Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari sangat terkait erat dengan Bung Karno.

Menurut penuturan imam masjid Imam Bukhari yang memandu rombongan, sebelum dikunjungi oleh Bung Karno, komplek makam Imam Bukhari terbengkalai dan hampir terlupakan. Pada akhir tahun 1950an dalam kunjungannya ke Moskow (waktu itu Uni Soviet), Bung Karno meminta agar diantarkan untuk ziarah ke makam Imam Bukhari.

Otoritas berwenang di Moskow dan Bukhara waktu itu tidak tahu dimana letak makam tersebut. Sampai akhirnya diperoleh informasi dari seseorang di kota Tashkent bahwa makam Imam Bukhari terletak dipinggiran kota Samarkand. Dengan perjalanan kereta api khusus, Bung Karno tiba di Samarkand pada malam hari.

Foto: Makam Imam Bukhari di Samarkand

Setibanya di makam, Bung Karno membaca Al-Qur’an sampai hari berganti (pagi). Betapa terkejutnya Bung Karno ketika mengetahui bahwa komplek makam Imam Bukhari terbengkalai, kotor dan tidak terurus.

Menurut beberapa kisah, Bung Karno berkata, apabila makam ini tidak dijaga dan dirawat maka beliau meminta untuk dipindahkan ke Indonesia. Sejak saat itu, komplek makam Imam Bukhari mulai dirawat kembali. Peristiwa ini sangat luar biasa mengingat saat itu kota Samarkand dan juga Uzbekistan berada di bawah kekuasaan Uni Soviet yang berpaham komunis. Uni Soviet sedang dalam puncak kejayaannya. Jasa Bung Karno ini terus dikenang oleh masyarakat setempat.

Pada Sabtu siang hari itu (4/10/2014), penulis bersama rombongan menunaikan shalat jamak ta’khir (Dzuhur dan Asyar) di Masjid Jami’ Imam Bukhari. Sebagaimana masjid-masjid di Indonesia, mimbar tempat khatib menyampaikan khotbah dilengkapi dengan tongkat untuk khatib shalat jum’at ataupun shalat ied (hari raya). Keesokan harinya, penulis berkesempatan shalat Idul Adha di masjid Imam Bukhari. Komplek makam Imam Bukhari terdiri dari masjid, musium dan makam imam bukhari serta pemakaman umum yang terletak di balik tembok makam imam bukhari. Di antara makam dan masjid serta musium dipisahkan dengan sebuah taman yang luas.

Selesai shalat, dengan dipimpin imam masjid setempat, saya bersama delegasi yang lain berkesempatan masuk ke dalam ruangan dalam makam. Selanjutnya imam masjid membaca beberapat ayat Al-Qur’an dengan suara yang merdu dan dilanjutkan dengan doa bersama.

Pada siang itu, disamping rombongan turis asing, banyak sekali para peziarah lokal yang berkunjung ke makam. Mereka dengan tertib duduk di bangku-bangku disekeliling bangunan makam Imam Bukhari yang dikhususkan untuk para peziarah. Beberapa diantaranya dengan merdu melantunkan dzikir dan bacaan Al-Qur’an, dilanjutkan berdoa. Ada pula rombongan sepasang pengantin baru yang secara khusus datang untuk berdoa bersama, dipandu oleh imam masjid setempat.

Menurut penuturan imam masjid setempat, terdapat tradisi dari masyarakat setempat untuk berziarah ke makam Imam Bukhari terlebih dahulu sebelum menunaikan ibadah haji/umrah atau mempunyai hajat khusus lainnya seperti pernikahan.

Tashkent, Samarkand, Bukhara – Oktober 2014

(Visited 375 times, 1 visits today)