AURAT PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN SURAT AL-AHZAB AYAT 59: DISKURSUS RELEVANSI CADAR DALAM KONTEKS INDONESIA
Ahmad Basith Salafudin
Email: basithsableng@gmail.com
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang sempurna yang tidak hanya mengatur bagaimana cara manusia berinteraksi dengan Allah SWT (hablun minallah), tetapi juga mengatur bagaimana cara manusia berinteraksi dengan sesamanya (hablun minannas). Dalam interaksi dengan sesama manusia ini, percampuran antara laki-laki dan perempuan merupakan kondisi yang tidak bisa terelakkan dalam ranah kehidupan, karena sulit untuk menghindari aktivitas sosial. Oleh sebab itu, Islam mengatur sedemikian rupa bagaimana cara interaksi antara keduanya. Ada rambu-rambu agama yang harus dipatuhi oleh keduanya, salah satunya adalah kewajiban bagi perempuan untuk menutup aurat di depan laki-laki yang bukan mahramnya.
Kewajiban menutup aurat bagi perempuan ini bukanlah perintah yang muncul tanpa adanya landasan ataupun muncul dari kebiasaan semata, namun merupakan sebuah perintah yang tertuang secara langsung di dalam al-Qur’an, sehingga wajib bagi semua perempuan untuk mematuhinya. Perintah menutup aurat bagi perempuan ini merupakan manifestasi dari syariat yang memposisikan perempuan sebagai makhluk yang suci. Tujuan diwajibkannya menutup aurat justru untuk menjaga kesucian dan memuliakannya, menghindarkannya dari pandangan negatif dan keinginan laki-laki yang hendak melecehkannya.[1]
Dengan adanya perintah wajib menutup aurat bagi perempuan, saat ini di Indonesia, kaum perempuan telah mulai memakai cadar sebagai upaya menutup aurat. Fenomena bercadar ini dianggap oleh mayoritas masyarakat awam sebagai hal yang baru dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam praktiknya, masyarakat yang melihat perempuan bercadar memiliki persepsi yang berbeda-beda. Ada yang menanggapinya secara positif, karena perempuan yang memakai cadar menandakan bahwa perempuan tersebut benar-benar menjaga tubuhnya dari pandangan laki-laki, namun banyak pula yang menanggapinya secara negatif, cadar justru dianggap sebagai bentuk eksklusifisme dan sikap yang berlebihan dalam kehidupan sosial. Bahkan ada yang memandang sinis perempuan bercadar, menganggap meraka sebagai anggota ormas yang berafiliasi dengan kelompok radikal, sebab sering kali tampak pelaku teror memakai cadar ketika melancarkan aksinya.
Adalah gerakan ‘hijrah’ yang merupakan salah satu motor penggerak berkembangnya pemakaian cadar di Indonesia. Gerakan ini seringkali mengadakan kajian-kajian yang dibungkus secara modern sehingga mudah diterima oleh kalangan milenial. Dalam kajiannya, gerakan ini banyak membahas permasalahan anak muda seperti masalah pacaran, pernikahan, bahkan terkadang juga motivasi-motivasi bagi anak muda dalam menjalani kehidupan. Dalam kegiatannya, gerakan ini juga menyelipkan pesan kepada para jamaahnya untuk berpedoman pada al-Qur’an, mengikuti sunnah-sunnah Nabi, meneladani kehidupan beliau, serta mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah memakai cadar, tidak heran jika kebanyakan perempuan yang memakai cadar justru berasal dari kalangan muda.
Makalah ini secara spesifik mengulas tentang aurat perempuan dalam perspektif QS. al-Ahzab [33] ayat 59. Uraiannya lebih menitik-beratkan pada pengimplementasian batasan aurat perempuan dari sudut pandang para ulama dengan direlevansikan pada penggunaan cadar di Indonesia. Dengan demikian, penulis menggunakan metode tematik, studi kepustakaan (library research) dengan memprioritaskan beberapa literatur referensi relevan dengan tema yang dibahas. Selain itu, mengingat makalah ini murni studi pustaka, maka semua sumber datanya adalah dokumentasi dengan pendekatan analisis isi (content analysis), yakni menganalisa suatu permasalahan dengan menarik kesimpulan yang replikatif dan benar dari data atas dasar konteksnya. [2]
PEMBAHASAN
- Pengertian dan Batasan Aurat Perempuan
Aurat secara harfiah adalah aib atau sesuatu yang dianggap buruk. Sedangkan secara syara’, aurat diartikan sebagai anggota tubuh yang tidak boleh terbuka, atau anggota tubuh yang tidak boleh dilihat.[3] Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa secara naluriah, manusia sebenarnya menganggap aurat sebagai sesuatu yang buruk ketika terlihat, sehingga kewajiban menutup aurat dalam syari’at sejalan dengan naluriah manusia. Kewajiban menutup aurat merupakan bentuk legitimasi dari syariat agar manusia terjaga dari sesuatu yang tidak diinginkan.
Dalam Nihayat al-Zain, Imam Nawawi al-Bantani mengklasifikasikan aurat perempuan menjadi empat keadaan. Pertama, aurat di dalam shalat. Aurat perempuan dalam keadaan ini mengharuskan untuk menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Kedua, ketika sendiri, bersama lelaki mahram dan sesama wanita Muslim. Dalam keadaan ini, aurat perempuan adalah di antara pusar sampai dengan lutut. Ketiga, bersama wanita non-Muslim. Auratnya adalah seluruh tubuh kecuali anggota yang tertuntut terbuka dalam pekerjaan. Keempat, bersama laki-laki lain. Aurat perempuan di hadapan laki-laki lain ini adalah seluruh tubuh hingga wajah dan kedua telapak tangan.[4]
‘Abdurrahman al-Suyuti dalam kitabnya Asybah wa al-Nadzair menyepakati pembagian di atas dan menambahkan satu ketegori lagi, yakni keadaan saat bersama suami. Menurutnya, tidak ada batasan aurat bagi perempuan saat bersama suami, termasuk farji.[5] Dari pembagian keadaan aurat perempuan di atas, batasan aurat paling berat adalah ketika bersama laki-laki lain. Dalam hal ini, perempuan dituntut untuk menjaga seluruh tubuhnya dari laki-laki yang bukan mahramnya, karena dapat menimbulkan tindakan asusila ketika interaksi langsung antara perempuan dan laki-laki ketika tidak dibatasi. Oleh karenanya, ulama membuat rambu-rambu ketat yang harus dipatuhi oleh laki-laki dan perempuan ketika keduanya saling berinteraksi.
Dalam perspektif Ilmu Fikih, diskursus tentang wajah dan telapak tangan merupakan problema yang tidak disepakati oleh seluruh ulama. Mereka memiliki pandangan berbeda tentang apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Hal ini disebabkan karena tidak adanya dalil sharih dari al-Qur’an maupun hadis yang menjelaskan tentang batasan aurat perempuan secara jelas dan gamblang. Pebedaan ini tampak dari silang pendapat antara empat madzhab mengenai apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat perempuan.
Di dalam kitab Tafsir Munir, misalnya, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan perbedaan pendapat tersebut. Dalam Madzhab Malikiyah dan Hanafiyah, seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan merupakan aurat, sedangkan menurut Madzhab Hanabilah seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan merupakan aurat. Sementara dalam Madzhab Syafi’iyah, ada dua pendapat terkait masalah ini, menurut yang pertama seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan merupakan aurat, sedangkan menurut yang kedua, wajah dan telapak tangan tidak termasuk aurat. Pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih unggul dan sangat familiar.[6]
- Macam-macam Penutup Kepala Perempuan
Perempuan merupakan perhiasan dunia yang selalu menarik bagi siapapun yang memandangnya. Maka tidak mengherankan jika perempuan mempunyai kewajiban yang lebih berat dari pada laki-laki dalam masalah aurat, karena setiap tingkah perbuatan perempuan selalu menjadi pusat perhatian bagi orang-orang yang ada di sekitarnya. Maka perlu adanya kesadaran dari kaum perempuan untuk menutup auratnya menggunakan penutup yang bisa menghalangi pandangan orang-orang yang ada di sekitarnya. Paling tidak ada lima penutup kepala perempuan yang dijelaskan oleh para ulama, antara lain;
- Niqab
Niqab adalah kain yang digunakan oleh perempuan untuk menutupi wajahnya. Menurut Ibnu Mandzur, Niqab merupakan kain penutup yang diletakkan di pucuk hidung. Sedangkan Ibnu al-Farra´ merinci pengertian kain yang menutup wajah. Jika penutup tersebut dijulurkan ke matanya, disebut waswasah, sementara jika tidak sampai menutup mata, tetapi mentupi kelopak mata, disebut niqab, namun jika menutupi hidung, namanya lifam.[7] Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa niqab secara pengertian sama dengan istilah cadar yang ada disekitar kita.
- Burqa’
Burqa’ secara bahasa berarti kain yang digunakan oleh perempuan untuk menutupi wajahnya. Ibnu Mandzur memaknai burqa’ sebagai kain yang menutupi wajah, yang memiliki dua lubang mata. Secara bentuk, sebenarnya antara niqab dan burqa’ tidak jauh berbeda. Perbedaan mendasarnya hanya terdapat dua lubang mata pada burqa’. Bahkan ada yang berpendapat bahwa niqab dan burqa’ merupakan dua hal yang sama.[8] Di sekitar kita, kebanyakan orang menyebut burqa’ juga sebagai cadar, karena bentuk fisik antara niqab dan burqa’ tampak sama, sehingga ketika ada orang mengatakan cadar, bisa jadi yang dimaksud adalah niqab ataupun burqa’.
- Khimar
Secara bahasa, khimar berarti penutup. Makna khimar untuk perempuan dapat diartikan sebagai kain yang digunakan untuk menutup kepalanya. Menurut al-Raghib al-Asfahani, kata khimar sebenarnya berarti sesuatu yang digunakan untuk menutup, namun sudah difungsikan untuk mendefinisikan kain yang digunakan oleh perempuan untuk menutupi kepalanya. Niqab dan khimar merupakan dua kain penutup yang identik dengan wanita Muslimah, namun keduanya memiliki perbedaan signifikan. Niqab merupakan kain yang digunakan perempuan untuk menutup wajahnya, sedangkan khimar hanya digunakan untuk menutup kepalanya.[9] Dari pengertian tersebut, istilah khimar sama dengan kerudung yang lazim dipakai oleh perempuan pada umumnya.
- Jilbab
Di dalam kitab Tafsir al-Wasith, Thanthawi menjelaskan jilbab sebagai kain yang digunakan perempuan untuk mentupi seluruh tubuhnya, di mana kain tersebut mereka pakai di atas pakaian yang telah mereka gunakan.[10] Pengertian ini sejalan dengan apa yang yang dijelaskan Wahbah al-Zuhaili, bahwa jilbab merupakan kain panjang yang digunakan oleh perempuan di atas gamis, atau pakaian yang menutupi seluruh tubuh.[11] Sedangkan bagi Ibnu ‘Asyur, jilbab dianggap sebagai pakaian yang lebih sempit dari selendang, tetapi lebih lebar dari pada khimar. Pakaian ini digunakan pada kepala perempuan serta kain tersebut turun ke pipi, sedangkan yang lainnya menjulur ke bahu dan punggung.[12] Bahkan dalam Tafsir al-Jalalain dijelaskan, bahwa jilbab adalah kain yang digunakan oleh perempuan ketika keluar rumah untuk menutupi tubuhnya, kecuali hanya menampakkan salah satu matanya.[13]
Dari beberapa pengertian tersebut, terdapat perbedaan antara istilah jilbab yang ada di sekitar kita dengan pengertian jilbab yang telah dipaparkan mufassir di atas. Istilah jilbab biasanya diartikan sebagai tudung ataupun penutup kepala yang digunakan oleh perempuan. Namun para mufassir memahami jilbab tidak sebagai penutup kepala, tetapi lebih menjulur ke bawah sampai menutupi seluruh tubuh. Dengan demikian, istilah jilbab yang umum kita dengar tidak sama dengan jilbab yang didefinisikan oleh para mufassir. Istilah jilbab yang ada di sekitar kita bisa saja sesuai dengan pengertian khimar.
- Hijab
Secara bahasa, hijab adalah penutup. Hijab juga bisa diartikan sebagai sesuatu yag digunakan oleh perempuan untuk menutup tubuhnya.[14] Saat ini, trend hijab sedang berkembang dan tumbuh subur di sekitar kita. Namun terdapat perbedaan antara istilah hijab yang sekarang menjadi trend dengan pengertian hijab yang dikemukakan oleh ulama. Hijab yang menjadi trend hanya mengacu pada kerudung ataupun penutup kepala perempuan, sedangkan menurut ulama, hijab merupakan penutup yang digunakan perempuan untuk menutupi seluruh tubuhnya, sehingga hijab dalam pandangan ini lebih umum dari pada istilah hijab yang sedang berkembang.[15] Oleh karenanya, makna kata hijab sebenarnya sangatlah umum, tidak hanya merujuk pada kerudung ataupun penutup kepala lainnya, pakaian pun juga termasuk hijab karena juga digunakan sebagai penutup tubuh perempuan.
- Aurat Perempuan dalam QS. Al-Ahzab [33] Ayat 59: Diskursus Relevansi Cadar Dalam Konteks Indonesia
Di dalam Al-Qur’an, terdapat ayat yang menjelaskan tentang masalah aurat perempuan, antara lain QS. al-Ahzab [33]: 59 berikut ini;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istrimu, anak-anak perempuanmu, juga kepada perempuan-perempuan yang beriman untuk menjulurkan jilbabnya ke tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”
Di dalam Tafsir Ayat al-Ahkam dijelaskan, bahwa ayat ini turun karena pada zaman Nabi, perempuan merdeka dan budak banyak yang keluar rumah pada malam hari untuk buang hajat di kebun, di antara pohon kurma, tanpa ada beda antara perempuan merdeka atau budak. Dengan kondisi demikian, banyak laki-laki yang mengganggu budak terkadang juga mengganggu perempuan merdeka, dengan alasan karena tidak tahu kalau perempuan yang mereka ganggu adalah perempuan merdeka. Akhirnya perempuan merdeka diperintah untuk memakai pakaian yang berbeda dengan budak, perempuan merdeka menutup tubuhnya memakai kain, sehingga mereka tidak diganggu oleh laki-laki ketika keluar rumah. Ibnu al-Jauzi menambahkan asbab al-Nuzul ayat di atas, bahwa pada masa tersebut banyak laki-laki yang mengganggu perempuan ketika keluar rumah pada malam hari. Ketika mereka melihat perempuan yang menutup wajahnya, mereka tidak mengganggunya, sedangkan ketika mereka melihat perempuan yang tidak menutup wajah, mereka mengganggunya. Kemudian turun ayat di atas sebagai legitimasi agar perempuan merdeka memakai pakaian berbeda dengan budak.[16]
Menurut Wahbah al-Zuhaili, ayat di atas digunakan sebagai dalil oleh para ulama yang mewajibkan menutup wajah bagi perempuan ketika keluar rumah. Ulama yang dimaksud seperti Ibnu al-Jauzi, al-Thabari, Ibnu Katsir, Abu al-Hayyan, Abi as-Sa’ud, al-Jashshas al-Razi, yang menafsirkan ayat tersebut sebagai bentuk perintah wajib menjulurkan jilbab untuk menutup wajah, badan dan rambut di depan laki-laki lain, atau ketika keluar rumah. [17] Sedangkan dalam Tafsir al-Jalalain dijelaskan bahwa kewajiban perempuan merdeka dan budak pada zaman sekarang bukan lagi dibedakan dengan kewajiban pemakaian jilbab dan tidak, namun yang wajib bagi keduanya adalah memakai pakaian yang tidak dihias dan tidak berpotensi menimbulkan fitnah.[18]
Berdasarkan pada pemahaman tafsir tersebut, fenomena bercadar di Indonesia akhirnya mengalami perkembangan pesat. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari ‘gerakan hijrah’ yang sekarang juga sedang menjamur di berbagai wilayah Indonesia. Gerakan ini banyak menggaet para pemuda yang kurang sempat belajar keilmuan Islam untuk mengikuti kajian-kajiannya yang dibungkus dengan kemasan modern, sehingga tidak sedikit pemuda yang tertarik pada kajian-kajian yang dilakukan. Buah dari kegiatan tersebut, umat muda Islam akhirnya banyak berubah kepribadiannya dari sisi keagamaan menjadi lebih baik, salah satunya berimplikasi banyaknya perempuan yang beralih menggunakan cadar.
Perubahan ini sejatinya membawa dampak positif dan patut diapresiasi, namun sayangnya juga dibarengi perubahan perilaku menjadi pribadi yang ekstrim dalam menyikapi agama. Sikap tersebut tidak lain karena pemahaman agama yang mereka hasilkan, didapat secara instan dari kajian-kajian yang berpandangan sempit, sehingga tidak jarang berbeda pemahaman dengan mayoritas umat Islam pada umumnya. Faktor inilah yang justru membuat pengguna cadar tidak jarang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Cadar dicap sebagai simbol Islam garis keras, padahal sejatinya, tidak ada implikasi sama sekali antara cadar dengan perilaku ekstrim dalam menyikapi agama. Perilaku keras tersebut murni muncul dari pemahaman secara instan, dan tidak bisa disangkut pautkan dengan cadar yang mereka gunakan.
Terlepas dari kontroversi yang ada, memang hukum penggunaan cadar menjadi perdebatan para ulama yang direlasikan dengan kewajiban menutup wajah atau tidak. Cadar merupakan instrumen yang tidak terpisahkan bagi ulama yang mewajibkan menutup wajah, karena fungsi cadar untuk menutup wajah perempuan. Sehingga Ulama yang mewajibkan menutup wajah, otomatis juga mewajibkan penggunaan cadar. Sedangkan ulama yang tidak mewajibkan menutup wajah, otomatis juga tidak mewajibkan penggunaan cadar, karena dengan membolehkan membuka wajah, otomatis juga tidak menuntut perempuan menutup wajahnya menggunakan cadar.[19]
Menurut ‘Ali al-Shabuni, pada zaman sekarang wajib menggunakan cadar, karena ulama yang berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukanlah anggota tubuh yang wajib ditutup, mensyaratkan tidak adanya fitnah. Sedangkan pada saat ini, perempuan menghias wajahnya dengan maksud mempecantik diri, dan menampakkannya di depan laki-laki yang bukan mahram. Hal semacam ini jelas dianggap haram oleh seluruh ulama. Al-Shabuni menambahkan bahwa ulama yang berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan bukan aurat, bukan berarti mengatakan wajib atau sunnah membukanya. Bagi al-Shabuni, ulama tersebut berpendapat boleh membuka wajah dan telapak tangan dalam keadaan darurat, dengan syarat aman dari fitnah.
Sementara pada zaman sekarang, telah banyak orang-orang fasik bertebaran. Tidak ada satupun ulama yang memperbolehkan perempuan untuk membuka wajahnya, karena realitas saat ini sudah merebak berbagai macam penyakit masyarakat, khususnya para perempuan yang berlomba-lomba menghias wajah. Realitas semacam ini menuntut kewajiban menutup wajah bagi perempuan, karena khawatir terdapat fitnah yang merebak dan menimbulkan kebinasaan nyata. Al-Shabuni menambahkan, pada zaman sekarang yang hati-hati adalah wajib bagi perempuan untuk menutup wajahnya. [20]
Lebih lanjut, al-Shabuni mengutip pendapat Sayyid Quthub untuk menguatkan pendapatnya. Dalam pandangan Sayyid Quthub, Islam harus mendorong pemeluknya untuk membentuk lingkungan masyarakat yang terjaga dari perilaku negatif, tidak mengundang syahwat dan berupaya untuk meredamnya, karena dengan mengundang syahwat akan menambah gejolak syahwat yang sulit untuk diredam. Memandang, berlenggak-lenggok, hiasan yang ditampakkan dan tubuh yang diperlihatkan, akan menumbuhkan syahwat yang menjadi sifat identik hewan. Salah satu cara untuk membentuk lingkungan yang terjaga dari perilaku negatif adalah dengan mengekang syahwat, bukan justru mengumbarnya, juga tidak membiarkan dan memberikan celah bagi laki-laki ataupun perempuan untuk menyalurkan hasratnya kepada lawan jenis, hasrat yang merupakan sifat naluriah dan bawaan manusia. [21]
Dari penjelasan di atas, jika dicermati secara seksama, sebenarnya yang menjadi sorotan adalah perilaku perempuan zaman sekarang yang berlomba-lomba menghias wajahnya. Bagi al-Shabuni, keadaan tersebut dianggap sebagai fitnah sehingga menurut ulama yang mengatakan wajah merupakan aurat, ataupun yang mengatakan wajah bukan aurat, sepakat mewajibkan menutup wajah. Karena ulama yang mengatakan boleh membuka wajah, mensyaratkan tidak adanya fitnah, sedangkan zaman sekarang merupakan zaman yang penuh dengan fitnah.
Di sisi lain, ‘Ali Jum’ah dalam kitab al-Niqab ‘Adah Laisa ‘Ibadah menjelaskan, bahwa cadar tidaklah wajib digunakan oleh seorang perempuan. Menurutnya, pakaian syar’i adalah setiap pakaian yang tidak membuat fitnah dan tidak ketat, pakaian yang bisa menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, juga tidak masalah seorang perempuan memakai pakaian berwarna asalkan tidak mencolok dan tidak mengundang fitnah. Maka perempuan boleh keluar rumah ketika sudah memakai pakaian yang sesuai dengan kriteria tersebut.[22]
Dalam pandangan ‘Ali Jum’ah, pendapat yang shahih terkait cadar bukanlah sesuatu yang wajib, dikarenakan menurut mayoritas ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, wajah bukanlah aurat, sehingga boleh untuk membukanya. Bahkan menurut al-Mardawi, al-Auza’i dan Abu Tsaur, bercadar malah makruh jika tidak menjadi kebiasaan di daerah tersebut, bercadar justru dianggap sebagai ekspresi yang berlebihan dalam beragama. Pendapat ini juga merupakan pendapat dari Madzhab Malikiyah. ‘Ali Jum’ah juga mengemukakan pendapat Zakariya al-Anshari, bahwa aurat perempuan di dalam shalat ataupun di hadapan laki-laki lain adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.[23]
Menurut ‘Ali Jum’ah, pakaian merupakan produk dari kebiasaan dan kultur masyarakat setempat, pendapat yang unggul memperbolehkan perempuan membuka wajahnya. Ini merupakan fatwa yang ada di Negara Mesir. Adapun masyarakat yang berbaur dengan lingkungan yang bermadzhab Hambali yang mengatakan wajib memakai cadar, tidak masalah memakai cadar, karena penggunaan cadar ini timbul dari kebiasaan masyarakat sekitar, sehingga hal tersebut menjadi budaya di daerahnya masing-masing.[24]
Bagi ‘Ali Jum’ah, yang perlu diperhatikan adalah perbedaan hukum masalah cadar berlaku ketika cadar tidak menjadi simbol perpecahan umat, juga tidak menjadi atribut golongan ahli bid’ah. Jika cadar sudah menjadi simbol perpecahan, atau menjadi atribut ahli bid’ah, maka hukum sunnah atau boleh tersebut justru beralih menjadi bid’ah, karena cadar sudah dijadikan tunggangan agar umat berselisih dan menjadi sebab terpecahnya kaum muslim, yang justru merusak dan menyengsarakan kaum muslim.[25]
Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa cadar timbul dari kebiasaan masyarakat yang pada akhirnya menjadi budaya. ‘Ali Jum’ah memaparkan beberapa pendapat bahwa pemakaian cadar justru dianggap sebagai ekspresi yang berlebihan dalam beragama, jika di daerah tersebut pemakaian cadar bukanlah menjadi kebiasaan.
PENUTUP
Dari penjelasan yang relaitf singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa aurat perempuan dalam perspektif QS. Al-Ahzab [33]; 59, terjadi silang pendapat antar ulama mengenai wajah dan telapak tangan, apakah tergolong aurat atau tidak. Perbedaan ini kemudian berimbas pada masalah hukum memakai cadar bagi perempuan, apakah wajib atau tidak. Terkait penggunaan cadar, ulama mempertimbangkan kondisi sosial, sehingga ada ulama yang mewajibkan perempuan memakai cadar, dengan landasan telah menyebarnya fitnah di tengah-tengah masyarakat. Ada pula ulama yang tidak mewajibkan perempuan memakai cadar, karena cadar dianggap sebagai budaya yang tumbuh dari kultur setempat, sehingga tidak perlu bagi perempuan memakai cadar jika di daerah tersebut tidak menjadi kebiasaan masyarakat sekitar.
Dari kedua pendapat ini, masyarakat bisa memilih pendapat mana yang ingin diaplikasikan. Stigma yang melekat pada cadar yang identik dengan teroris tidak mempengaruhi hukum tersebut, karena sejatinya mereka hanya oknum. Faktanya ada yang bercadar namun mereka bukan teroris. Dalam hal ini, pemakaian cadar tetap relevan di Indonesia meski banyak pro-kontra yang timbul di masyarakat, karena diakui atau tidak, pemakaian cadar memiliki banyak dampak positif bagi perempuan yang memakainya. Selain dapat melindunginya dari pandangan nakal dari lawan jenis, juga lambat laun akan mempengaruhi alam bawah sadarnya untuk meningkatkan praktik keagamaan dalam kehidupan kesehariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Anshari, Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya. Al-Syarqowi ‘ala Syarah al-Tahrir. Jakarta: al-Haramain, 1999.
Al-Bantani, Nawawi. Niyahayat al-Zain. Jakarta: al-Haramain, 1998.
Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad, dan al-Suyuthi, Jalluddin Abdurrahman bin Abu Bakar. Tafsir al-Jalain. Bierut: Dar al-Hadits, 1995.
Al-Shabuni, Muhammad Ali. Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam. Lirboyo: Dar al-Mubatadi’in, 2017.
Al-Shawi, Ahmad bin Muhammad al-Khalut. Hasyiah al-Shawi ala at-Tafsir al-Jalalain. Beirut: Dar al-Fikr, 2004.
Al-Suyuthi, Jalaluddin. Asybah wa al-Nadzair. Beirut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, 1998.
Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2002.
Ibn ‘Asyur, Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Thahir. al-Tahrir wa al-Tanwir. Bierut: Dar al-Tarikh, 2000.
Jum’ah, ‘Ali. al-Niqab ‘Adah wa laisa ‘Ibadah. Beirut: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 2008.
Moleong, J. Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Thantawi, Muhammad Sayyid. Tafsir al-Wasith. Beirut: Dar al-Fikr, 1999.
Tim penyusun, Muasu’ah al-Fiqhiyah. Beirut: Dar Fikr, 2005.
[1] Muhammad Ali al-Shabuni, Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, (Lirboyo: Dar al-Mubatadi’in, 2017), h. 243.
[2] J. Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 163.
[3] Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari, al-Syarqowi ‘ala Syarah al-Tahrir, (Jakarta: al-Haramain, 1999) Juz I, h. 171.
[4] Nawawi al-Bantani, Niyahayat al-Zain, (Jakarta: al-Haramain, 1998), h. 47.
[5] Jalaluddin al-Suyuthi, Asybah wa al-Nadzair, (Beirut: Dar al-Kutub, al-Ilmiyah, 1998), h. 410.
[6] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,, 2002), Juz XVIII, h. 217.
[7] Tim penyusun, Muasu’ah al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar Fikr, 2005), Juz II, h. 21.
[8] Tim penyusun, Muasu’ah al-Fiqhiyah, Juz I, h. 71.
[9] Tim penyusun, Muasu’ah al-Fiqhiyah, Juz I, h. 71.
[10] Muhammad Sayyid Thantawi, Tafsir al-Wasith, (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), Juz XI, h. 245.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz XXII, h. 106.
[12] Muhammad Thahir bin Muhammad bin Muhammad Thahir Ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (Bierut: Dar al-Tarikh, 2000), h. 3396.
[13] Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli; Jalluddin Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Tafsir al-Jalain, (Bierut: Dar al-Hadits, 1995), Juz XIII, h. 103.
[14] Tim penyusun, Muasu’ah al-Fiqhiyah, Juz I, h. 71.
[15] Tim penyusun, Muasu’ah al-Fiqhiyah, Juz V, h. 71.
[16] Ali al-Shabuni, Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, h. 282.
[17] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Juz XXII, h. 109.
[18] Ahmad bin Muhammad al-Khalut al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ala at-Tafsir al-Jalalain, (Beirut: Dar al-Fikr, 2004), h. 1515.
[19] Tim penyusun, Muasu’ah al-Fiqhiyah, Juz V, h. 71.
[20] Ali al-Shabuni, Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, h. 37.
[21] Ali al-Shabuni, Mukhtasar Tafsir Ayatil Ahkam, h. 243.
[22] ‘Ali Jum’ah, al-Niqab ‘Adah wa laisa ‘Ibadah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 2008), Juz I, h. 16.
[23] ‘Ali Jum’ah, al-Niqab ‘Adah wa laisa ‘Ibadah, Juz I, h. 16.
[24] ‘Ali Jum’ah, al-Niqab ‘Adah wa laisa ‘Ibadah, Juz I, h. 19.
[25] ‘Ali Jum’ah, al-Niqab ‘Adah wa laisa ‘Ibadah, Juz I, h. 16.