Catatan perjalanan: Tashkent-Samarkand-Bukhara

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT akhirnya setelah melewati perjalanan yang melelahkan (Jakarta-Seoul-Tashkent), menjelang tengah malam saya beserta delegasi sidang Badan Pariwisata Dunia PBB tiba di Tashkent, Uzbekistan.

Selepas istirahat satu malam di sebuah hotel milik seorang pengusaha Indonesia, seluruh delegasi dari berbagai negara termasuk delegasi Indonesia berangkat menuju kota Samarkand, tempat sidang dilaksanakan, menggunakan kereta api khusus.

Samarkand, sebuah kota yang sangat penting dalam sejarah Uzbekistan. Kota ini bersama dengan kota-kota lain seperti Tashkent, Bukhara dan Khiva merupakan jalur-jalur perdagangan yang sibuk di abad pertengahan. Kota-kota ini merupakan bagian dari jalur sutra (silk road) yang menghubungkan Asia dan Eropa. Melalui jalur ini berbagai komoditas termasuk rempah-rempah dari Nusantara dibawa dengan karavan menuju daratan Eropa.

Sebagai kota yang pernah menjadi ibukota kekaisaran dinasti Timurid, sisa-sisa kejayaan kota ini masih terjadi dan dirawat dengan sangat baik. Registan Square misalnya, sebuah komplek pendidikan atau perguruan tinggi dari abad pertengahan yang terdiri dari tiga gedung madrasah besar dan satu buah masjid.

Interior dalam masjid berornamen keemasan dan luar biasa indah. Gedung madrasah bertingkat dua dilengkapi dengan kamar-kamar santri dan guru tertata dengan rapi. Ketiga gedung tersebut memiliki kubah berwarna biru yang dengan bahan keramik dan marmer bertuliskan kaligrafi khas asia tengah.

Komplek Registan Square ini merupakan tujuan wisata utama di Samarkand yang tidak pernah sepi dari wisatawan baik asing maupun lokal. Saat ini kamar-kamar tersebut dipergunakan para pedagang untuk menjajakan hasil-hasil kerajinan tangan dan produk khas setempat.

Terbayang di mata betapa dahulu, komplek madrasah ini penuh dengan hilir mudik para pelajar dan ulama yang datang dari seluruh belahan dunia. Mereka belajar berbagai macam disiplin ilmu mulai dari ilmu nahwu (tata bahasa arab), hadits dan tafsir.

Terbayang betapa mereka dengan tekun juga belajar berbagai kitab-kitab astronomi (ilmu falak dan hisab) karangan Ulugh Beg, cucu Amir Timur (pendiri dinasti Timurid), sembari mengintip letak bintang-bintang di langit melalui observatorium teropong bintangnya Ulugh Beg. Bagi santri-santri di pesantren tradisional di Indonesia, nama Ulugh Beg bukanlah nama yang asing. Karya-karyanya masih terus dipergunakan sebagai acuan untuk menyusun kalender hijriah dan jadwal shalat lima waktu.

Tidak jauh dari pusat kota Samarkand, kurang lebih 30 menit dengan naik mobil, terdapat komplek makam Imam Bukhari. Komplek makam sang perawi hadits yang dikenal dengan Abu Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari sangat terkait erat dengan Bung Karno.

Menurut penuturan pengurus masjid Imam Bukhari, sebelum dikunjungi oleh Bung Karno, komplek makam Imam Bukhari terbengkalai dan hampir terlupakan. Pada akhir tahun 1950an dalam kunjungannya ke Moskow (waktu itu Uni Soviet), Bung Karno meminta agar diantarkan untuk ziarah ke makam Imam Bukhari.

Otoritas berwenang di Moskow dan Bukhara waktu itu tidak tahu dimana letak makam tersebut. Sampai akhirnya diperoleh informasi dari Tashkent bahwa makam Imam Bukhari terletak dipinggiran kota Samarkand. Dengan perjalanan kereta api, Bung Karno tiba di Samarkand pada malam hari.

Setibanya di makam, Bung Karno membaca Al-Qur’an sampai hari berganti (pagi). Betapa terkejutnya Bung Karno ketika mengetahui bahwa komplek makam Imam Bukhari terbengkalai, kotor dan tidak terurus.

Menurut kisah, Bung Karno berkata, apabila makam ini tidak dijaga dan dirawat maka beliau meminta untuk dipindahkan ke Indonesia. Sejak saat itu, komplek makam Imam Bukhari mulai dirawat kembali. Hal ini sangat luar biasa mengingat saat itu paham komunis mencapai puncak kejayaannya. Jasa Bung Karno ini terus dikenang oleh masyarakat setempat.

Pada siang hari itu, saya bersama rombongan menunaikan shalat jamak ta’khir (Dzuhur dan Asyar) di masjid jami’. Sebagaimana masjid-masjid di Indonesia, mimbar tempat khatib menyampaikan khotbah dilengkapi dengan tongkat untuk khatib shalat jum’at atau shalat ied (hari raya).

Keesokan harinya, saya berkesempatan shalat Idul Adha di masjid Imam Bukhari. Komplek makam Imam Bukhari terdiri dari masjid, musium dan makam imam bukhari serta pemakaman umum yang terletak di balik tembok makam imam bukhari. Di antara makam dan masjid serta musium dipisahkan dengan sebuah taman yang luas.

Selesai shalat, dengan dipimpin imam masjid setempat, saya bersama delegasi yang lain berkesempatan masuk ke dalam ruangan dalam makam. Selanjutnya imam masjid membaca beberapat ayat Al-Qur’an dengan suara yang merdu dan dilanjutkan dengan doa bersama.

Pada siang itu, disamping rombongan turis asing, banyak sekali para peziarah lokal yang berkunjung ke makam. Mereka dengan tertib duduk di bangku-bangku disekeliling bangunan makam Imam Bukhari yang dikhususkan untuk para peziarah.

Beberapa diantaranya melantunkan dzikir dan bacaan Al-Qur’an, dilanjutkan berdoa. Ada pula rombongan sepasang pengantin baru yang secara khusus datang untuk berdoa bersama, dipandu oleh imam masjid setempat.

Menurut penuturan imam masjid setempat, terdapat tradisi dari masyarakat setempat untuk berziarah ke makam Imam Bukhari terlebih dahulu sebelum menunaikan ibadah haji/umrah atau mempunyai hajat khusus lainnya seperti pernikahan.

Tashkent, Samarkand, Bukhara – Oktober 2014

Alumni PPQH

(Visited 139 times, 1 visits today)