Kenangan di Pesantren: metode terjemah per kata “utawi iki iku”
Nairobi – Seperti lazimnya nama pesantren di Jawa yang dinisbahkan kepada desa lokasi pesantren, seperti Lirboyo, Tegalrejo, Langitan dan Gontor, demikian pula Pesantren Al Falah tempat kami dahulu belajar juga dikenal dengan Pondok Ploso. Karena berlokasi di Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri. Pondok besar ini sangat dikenal di kampung kami di Trenggalek.
Pesantren Al Falah didirikan tahun 1925-an oleh KH Ahmad Djazuli Usman. Seorang ulama yang pernah mengenyam Sekolah Tinggi kedokteran STOVIA, Batavia. Pesantren tua ini berlokasi tepat di pinggir sungai Brantas.
Sebagaimana sebagian besar pesantren tradisional di Jawa, kajian di Pesantren Ploso menggunakan kitab-kitab kuning. Penterjemahan dilakukan dengan metode “utawi iki iku” atau “makna gandul” berbahasa Jawa.
Misalnya, kata atau lafadz pada awal kalimat dalam bahasa Arab yang berpredikat sebagai “mubtada” ditandai dengan huruf mim dan dibaca “utawi” (Indonesia: adapun). Kata yang berpredikat sebagai “khobar” diberi tanda huruf “kho” dan dibaca “iku” (Indonesia: itu). Lalu di bawah setiap kata berbahasa Arab diberi arti dengan tulisan Arab berbahasa Jawa atau pegon. Ada beberapa simbol huruf lainnya untuk membantu terjemah per kata ini atau disebut juga dengan tarkib.
Kitab kuning adalah kitab klasik yang disusun para ulama sejak ratusan tahun silam. Disebut kitab kuning karena sebagian besar dicetak dalam kertas berwarna kuning. Sebagian besar kitab-kitab itu ditulis dengan aksara Arab gundul atau tanpa harakat.
Beberapa pengajian seperti kitab hadits Bukhari dan Muslim, Fathul Qarib, Fathul Muin, Fathul Wahhab serta tafsir Jalalain langsung diampu oleh para Kiai. Sedangkan kitab-kitab lainnya oleh para ustadz.
Selepas shalat Isya, seluruh santri diwajibkan mengikti musyawarah atau belajar bareng sesuai kelas masing-masing. Kami belajar secara berkelompok mempelajari materi yang akan diajarkan esok hari. Salah satu diantara kami berdiri di depan kelas untuk menjelaskan materi pelajaran dengan bahasa Indonesia, layaknya seorang guru.
Terkait jamaah, jangan harap akan mendapatkan shaf atau baris paling depan apabila datang terlambat di masjid. Lima atau sepuluh menit sebelum adzan, shaf atau barisan-barisan depan sudah penuh. Masjid pesantren adalah masjid kuno berarsitektur khas bangunan zaman Belanda. Rasanya adem shalat di masjid ini.
Setiap kelas mempunyai susunan pengurus, seperti ketua kelas dan lain-lain. Disamping itu, setiap siswa mendapatkan jadwal membangunkan teman-teman sekelas untuk shalat malam. Kami biasanya menyebutnya “mujahadah”. Kegiatan ini ada yang dilaksanakan per kelas dengan dipimpin oleh guru atau ustadz. Tempatnya bisa di masjid atau ruang kelas. Pada beberapa kesempatan lain, ada pula “mujahadah kubro”. Yaitu, shalat malam dan dzikir bersama yang diikuti oleh seluruh santri yang dipusatkan di masjid.
Sekitar 28 tahun lalu, dengan mengendarai sepeda motor Yamaha atau “motor bebek” saya diantar Bapak ke Pesantren Al Falah. Kami berkunjung atau sowan ke rumah para Kiai (Dewan Masyayikh) seperti KH Zainuddin Djazuli, KH Nurul Huda, KH Fuad Mun’im Djazuli dan KH Mahfudz Siroj. Dan juga kepada Mbah Nyai Rodliyah Djazuli, istri KH Ahmad Djazuli. Sebelum pulang bapak berpesan, tirakatnya 3 hal saja: istiqomah shalat wajib berjamaah di masjid, istiqomah baca Al Qur’an dan rajin belajar. “Itu nasehat Mbah Kiai Djazuli”, tutur Bapak.
Setelah melalui ujian seleksi –wawancara dan tes tulis– saya diterima masuk di kelas I Tsanawiyah Madrasah Islamiyah Salafiyah Riyadlotul Uqul (MISRIU). Jenjang pendidikan dibagi menjadi Ibtidaiyah (3 tahun), Tsanawiyah (4 tahun) dan Majelis Musyawarah (5 tahun). Alhamdulillah saya bisa menyelesaikan jenjang Tsanawiyah.
Tahun ajaran baru Pesantren adalah bulan Syawal dan akhir tahun pada bulan Sya’ban. Pada awal tahun ajaran baru, para kiai secara khusus menyampaikan pesan awal tahun atau khutbah Iftitah bertempat di serambi masjid. Menjelang liburan akhir tahun, ditempat yang sama diselenggarakan acara perpisahan atau muwadda’ah, yang juga diisi dengan nasehat para kiai.
Untuk membantu santri baru terutama yang belum mampu menterjemah dengan metode “utawi iki iku” atau belum bisa berbahasa Jawa, KH Zainuddin Djazuli mengajar cara memberi tanda arti/makna atau “makna gandul”. Penjelasan disampaikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Beliau memberikan contoh di papan tulis. Kami semua duduk beralas sajadah menyalin di buku masing-masing. Beliau juga praktek cara shalat di depan para santri. Seperti gerakan takbiratul ihram dan bersedekap yang benar.
Pada pagi dan sore hari, menjelang dimulainya pelajaran, setiap kelas ramai dengan suara anak-anak yang melantunkan atau “lalaran” bait-bait atau nadzom pelajaran masing-masing.
Ada kelas yang melantunkan Fa’ala Yaf’ulu Fa’lan wa Maf’alan fahua Failun (Amtsilati Tashrifiyah) ada yang melantunkan Qola Muhammadun huabnu Maliki (Alfiyah Ibni Malik), ada pula yang melantunkan Alhamdulillahi munawwirin hijja # yahdi ila nadmi safinatinnaja (bait nadzom Tanwirul Hijja). Suasana Pesantren sangat ramai sekali. Sangat hidup dan semarak.
Tidak semua buku atau kitab pelajaran kami berbentuk bait syair (nadzom). Ada pula yang berupa teks essai dan ringkasan (mukhtashor).
Untuk makan sehari-hari, ada yang memasak secara berkelompok, memasak sendirian atau membeli di warung di dalam/sekitar pondok atau istilah kami “majek”. Saya lebih sering masak bareng atau berkelompok.
Sepekan sekali, biasanya salah satu dari anggota kelompok, secara bergantian berbelanja di pasar “Pahing”. Sebuah pasar kecil di dekat Puskesmas, tidak jauh dari Pesantren. Pada hari pasaran, pasar ramai dengan kaum bersarung yang berbelanja kebutuhan sehari-hari. Mereka belanja bumbu dapur, sayur, tempe, tahu, ikan dan lain-lain.
Apabila seorang di antara teman yang tinggal sekamar mendapatkan kiriman dari orang tua, menjadi ketentuan tak tertulis untuk berbagi kebahagian dengan membelikan makanan dan minuman kecil. Saat itu, minuman favorit kami adalah es teh.
Kiriman ada kalanya berbentuk kiriman uang melalui “wesel” terutama teman-teman yang berasal daerah yang jauh. Adapula yang langsung diantarkan oleh orang tuanya, biasanya berupa bahan makanan mentah seperti beras, bumbu masak dan kelapa serta uang bekal ala kadarnya.
Pada saat-saat tertentu, seperti syukuran akhir tahun, kami bersama teman-teman kadang makan lebih bergizi. Menyembelih ayam kampung dan memasak bareng-bareng di dapur umum. Istilah kami “mayoran”.
Pada akhirnya, terasa nikmat sekali makan nasi liwet hangat dengan lauk sambal terong bakar di bawah semilir angin dan rindangnya rumpun bambu pinggir sungai Brantas.
Nairobi – Kenya, 22 Oktober 2017
W. Sunani Ali Asrori