Dikisahkan dari Syeikh Ma’ruf al-Karkhi –seorang ulama tasawwuf terkemuka yang hidup pada masa kejayaan kekhalifahan Harun al-Rasyid– bahwa pada suatu waktu salah seorang sahabat Imam Abu Hanifah bernama Abu Yusuf meninggal dunia. Pada saat Abu Yusuf meninggal dunia, tidak ada satu orangpun yang hadir bertakziah di rumahnya karena alasan tertentu. Sebelum jenazah Abu dimakamkan, Syeikh Ma’ruf al-Karkhi bermimpi bertemu dengan Abu Yusuf. Terjadi dialog diantaranya keduanya.

Syeikh Makruf al-Karkhi bertanya kepada Abu Yusuf tentang keadaannya terutama  balasan apa yang Allah SWT terhadap perbuatannya di dunia. Abu Yusuf berkata “Allah SWT telah mengampuni segala dosaku”.

Syeikh Ma’ruf bertanya lebih lanjut, “apa yang engkau perbuat sehingga Allah SWT mengampunimu.” “Karena aku sering menasehati para pencari ilmu dengan nasehat baik,” jawab Abu Yusuf. Seraya terbangunlah Syeikh Ma’ruf al-Karkhi dari tidurnya dan segera berangkat bertakziah ke rumah Abu Yusuf.

Kisah tersebut menunjukkan bahwa baik dan bersihnya niat bagi para pencari ilmu adalah sangat penting. Imam al-Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah menyebutkan bahwa terdapat dua macam pencari ilmu.

Pertama, seseorang yang menuntut ilmu dengan maksud dan tujuan semata-mata untuk mendapatkan kenikmatan duniawi. Seperti agar supaya kaya raya, mempunyai harta benda, menjadi pejabat atau pemuka masyarakat.  Nah, orang-orang yang seperti ini merupakan orang-orang yang merugi. Ibaratnya seperti, orang yang menjual akhirat dengan imbalan dunia.

Kedua, menuntut ilmu dengan tujuan mendapatkan hidayah atau petunjuk dari Allah SWT dan bukan semata-mata transfer ilmu dari guru kepada murid. Mereka niat belajar untuk menghilangkan kebodohan, menghidupkan agama Allah SWT, menegakkan Islam melalui ilmu, bersyukur atas nikmat akal dan kesehatan serta mencari ridla Allah SWT. Maka orang-orang yang seperti ini patut bergembira.

Allah SWT akan menurunkan rahmatnya kepada orang-orang dengan niat bersih, menuntut ilmu karena Allah SWT, lillahi ta’ala. Selama perjalanan menuju sekolah, pesantren, majelis dzikir, tempat pengajian dan majelis ilmu, maka para malaikat dan ikan di laut selalu memintakan ampun kepada Allah SWT untuk orang-orang ini.

Kisah tersebut di atas dimuat dalam kitab Bidayatul Hidayah karya Hujjatul Islam, Zainuddin Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali atau dikenal dengan sebutan Imam Ghazali, pengarang kitab Ihya Ulumuddin. Kitab tersebut diberikan komentar atau syarah oleh Syeikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Kitab syarahnya berjudul Maraqil Ubudiyah.

Ulama asal Tanara, Banten ini mempunyai banyak nama panggilan atau julukan. Diantaranya adalah Sayyid Ulama al-Hijaz atau Pemimpin Ulama Hijaz. Karya ulama yang pernah menjadi Imam Masjidil Haram Makkah ini berjumlah ratusan dan sebagian besar menjadi kitab atau buku standar tidak hanya di pesantren di Indonesia tapi juga dunia Islam. Kitab-kitab tersebut membahas bidang fiqh, hadis, tasawwuf dan tafsir.

KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Rais Syuriah PBNU saat ini, adalah salah satu cicit dari Syeikh Nawawi al-Bantani.

Kitab Maraqil Ubudiah –terdiri dari 103 halaman– membahas tentang tata krama adab beribadah kepada Sang Khalik Allah SWT dan adab berteman atau bersahabat dengan sesama makhluk. Dalam kitab tersebut dibahas pula tata krama atau akhlak bangun tidur, masuk kamar mandi, wudlu, mandi, shalat, puasa dan lain sebagainya.

Port Louis, 26 Februari 2017

(Visited 472 times, 1 visits today)