Pada awal tahun 1980 an, listrik belum masuk ke desa saya, sekitar 7 kilo meter barat kota Trenggalek. Jalan antar kampung belum diaspal, masih terbuat dari tanah atau makadam. Sarana transportasi utama ke kota adalah bis dan dokar (pedati yang ditarik seekor kuda) dan sepeda. Listrik belum masuk, sehingga penerangan masih menggunakan lampu minyak tanah seperti petromak atau ublik.
Saat itu, tempat berkumpulnya anak kampung seusia saya yang masih belajar di Madrasah Ibtidaiyah atau setingkat SD adalah di masjid atau musholla terdekat. Malam hari, tidur di masjid atau musholla berselimut kain sarung merupakan hal biasa bagi anak-anak di kampung. Jarang sekali, anak-anak tidur malam di rumah. Biasanya kami tidur di serambi masjid –bukan di dalam masjid– dan juga kamar-kamar di samping masjid.
Menjelang Maghrib, saya dan teman-teman sebaya berkumpul di masjid. Selepas shalat Maghrib, kita belajar mengaji sampai Isya bertempat di madrasah depan masjid. Kami belajar cara shalat, membaca Al Qur’an, hafalan Juz Amma, dan syair berbahasa Jaawa berisi tuntunan akhlak (syi’iran).
Setelah selesai kegiatan madrasah, halaman madrasah penuh dengan aneka obor untuk penerangan pulang ke rumah. Ada yang terbuat dari seikat daun kelapa kering, potongan bambu berisi minyak tanah dengan sumbu sabut kelapa dan adapula yang terbuat dari batang daun pepaya bersumbu sabut kelapa. Sebagian anak kecil, terutama yang masih sering ngompol, dijemput orang tua masing-masing untuk tidur di rumah.
Setiap malam Jum’at, pengajian malam hari diliburkan dan diganti dengan membaca Barzanji dan Diba’ bersama-sama di serambi masjid. Sesekali kami ikut para pemuda masjid yang menampilkan seni hadrah di musholla-musholla terdekat.
Selepas shalat Isya berjamaah, para pemuda desa –para mengajar kami– secara bergantian mengaji Al Qur’an dengan sistem sorogan (murid membaca di hadapan guru) kepada pengasuh Pesantren, KH Kholil Madjid, bertempat di rumah beliau. Para pemuda tersebut juga mengaji kitab-kitab kuning standar pesantren.
Bagi anak-anak seusia saya, saat-saat yang paling dinantikan adalah saat bulan purnama. Selepas shalat Isya, anak-anak bermain petak umpet, sepak bola platik dan lain-lain di halaman masjid. Pernah juga halaman masjid dipakai pertunjukan pencak silat.
Seringkali terutama pada musim kemarau, para pemuda desa dan anak-anak gotong royong mengangkut tanah uruk dari sawah-sawah sekitar Pesantren untuk membangun gedung madrasah. Murid-murid MTM, MI dan MTs juga bergotong royong mengangkut galian tanah uruk dan pasir. Sebagian dari “kali pinggir” (nama sebuah sungai tidak jauh dari pesantren).
Saat itu jenjang pendidikan terdiri dari Madrasah Diniyah atau MTM, MI, MTs (dahulu dikenal dengan PGAP atau Pendidikan Guru Agama Pertama). Siswanya sebagian besar dari desa-desa di kecamatan Tugu, Karangan serta kecamatan lain di Trenggalek.
Siswa-siswa dari unit-unit pendidikan yang didirikan menyusul, yaitu MA, SMK 1 (dahulu: STM) dan SMK 2 (dahulu: SMEA) juga turut bergotong-royong membangun berbagai sarana pra sarana pendidikan di lingkungan Pesantren.
Pernah suatu saat, siswa-siswa iuran bukan uang tapi kayu bakar untuk membakar bata merah (jawa: obong botho). Masyarakat sekitar masjid, secara bergiliran menyediakan tenaga untuk membangun madrasah. Secara bergantian, kaum ibu menyediakan konsumsi seadanya untuk makan siang bersama.
Seiring berjalannya waktu, siswa-siswa dan santri-santri dari daerah lain di luar kabupaten Trenggalek mulai berdatangan. Dari Tulung Agung, Ponorogo bahkan luar pulau seperti Lampung, Sumatera Selatan dan lain-lain.
Para siswa yang dulu belajar di lingkungan pesantren telah berkiprah di masyarakat. Ada yang menjadi Kiai, guru, PNS, TNI, Polri, pengusaha, petani, penulis, wartawan dan lain sebagainya.
Sedikit cerita, tahun lalu –2016– saya terkejut ketika pada suatu hari tiba-tiba menerima telpon dari salah seorang alumni SMK 1 (STM) Qomarul Hidayah di Bangui, Afrika Tengah. Mustakim adalah anggota TNI yang merupakan bagian bari pasukan penjaga perdamaian PBB atau dikenal dengan Kontingen Garuda (Konga).
“Mas, saya Mustakim dari Mojo –sebuah desa di kecamatan Tugu tidak jauh dari Pesantren– akan mampir di KBRI Nairobi,” ujarnya. “Saya diminta komandan untuk menyampaikan bahwa sekitar 25 orang teman anggota TNI di Bangui, Afrika Tengah akan transit di Nairobi,” kata Mustakim.
Saat bertemu di KBRI Nairobi, Komandannya bercerita kepada saya bahwa Mustakim adalah prajurit andalan dengan spesialisasi memperbaiki kendaraan operasional pasukan Konga di Bangui.
Pada akhirnya, mengutip harapan di FB Kang Akmal –jurnalis, alumni PPQH yang tinggal di Jakarta– semoga kehadiran rekan rekan dalam acara Reuni Nasional II PP Qomarul Hidayah bisa mempererat shilaturahim yang bermanfaat untuk kita. Kehadiran kita semua insya Allah berkah.
Akhir kata, semoga dengan reuni, kita semua dapat mempererat silaturrahim serta mengenang jasa dan mendoakan guru-guru, teman-teman dan saudara-saudara yang telah mendahului. Seperti, Pak Kiai Bukhori Isnen, Pak Kiai Jari, Pak Barok (guru-guru MTM), Pak Bilal (Kepala MI), Bu Mesini (guru MTs) dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu, Allah yarhamhum.
Selamat Reuni Nasional II PP Qomarul Hidayah.
W. Sunani Ali Asrori
Alumni MTM, MI, MTs dan MA Qomarul Hidayah, tinggal di Nairobi – Kenya.
Nairobi, 19 Mei 2017
(Visited 368 times, 1 visits today)